Aku melangkah mengikuti jejak-jejak telapak kaki kedua kawan menuju sebuah ruangan di lantai dua. Sembari berjalan aku tegaskan, akan ada beberapa pembelaan dariku nanti. Terutama untuk membenarkan atas kesalahpahaman yang tidak pernah aku lakukan. Teruntuk memberi tahukan kepada banyak pihak yang aku tinggalkan secara mendadak dan mengejutkan. Serta seorang perempuan yang kelopak matanya tertutup dengan suara pendeteksi detak jantung di ruangan sunyi.
Sampai pada tempat yang
dituju dengan sirine mobil pihak kemanan di lantai satu yang membikin tegang.
Aku masuk terlebih dahulu ke ruangan yang sekira-kira berukuran 4x4 meter
persegi itu. Di tengah-tengah ruangan, sebuah kamera DSLR[1]
dan mikrofon bertengger bersamaan di atas tripod. Sebuah LED lighting berdiri tidak jauh dari kamera. Satu meter jaraknya,
terbentang sofa berwarna monokrom—perpaduan hitam dan putih. Terakhir, sebagian
dinding berwarna kehijauan. Lagaknya, tempat ini menyerupai studio versi mini
seperti yang pernah aku lihat pada kanal
YouTube.
“Sangga,”
ujar salah seorang di antaranya bernama Adam.
Aku
menoleh, menatapnya pelan.
“Jangan
tegang, Sangga,” sambungnya. “Saya sangat mengerti keadaanmu sekarang. Perlu
diketahui, tugas kamu sudah selesai. Sekarang, giliran saya dan kawan-kawan yang akan merawat dia hingga pulih kembali.”
“Dibawa
santai dulu, Sob,” timpal seorang lagi bernama Saba. “Bicaralah di depan kamera
ini sesuai tulisan yang sudah diketik rapi di atas sofa itu.”
Aku
membisu.
“Ingat,
Ga. Kamu hanya memiliki sedikit waktu sebelum dibawa pihak berwajib. Kalaupun
nanti tidak akan ada yang berubah dengan kasusmu. Namun, kebenaran memang harus
diungkapkan, perempuanmu juga tahu cerita
kenapa pada akhirnya ada keputusan ini!” jelas Adam dengan tegas.
“Aku
baca dahulu,” jawabku.
Aku langsung pergi ke arah
sofa yang dimaksud. Sementara kedua kawanku mengangguk.
Aku
baca sebaris kalimat pada kertas HVS berukuran A4 itu. Baru satu lembar
pertama, aku terenyuh dengan permainan diksi ciptaan Adam. Tepat setelahnya aku
menemukan kenyamanan. Langsung aku duduk di atas sofa.
“Kalimat
di dalam tulisan ini menggambarkan tentangku, juga dirinya. Aku setuju. Bisa
dimulai sekarang?” pintaku.
Saba
dan Adam tersenyum tipis mendengar kalimat yang aku ucapkan barusan.
Lambat-lambat mereka mengambil posisi masing-masing. Saba bersembunyi di balik
lensa kamera. Adam berdiri memantau. Sementara aku mengambil posisi senyaman
mungkin menatap lensa kamera.
Hingga satu kalimat dari Saba memberikan aba-aba, “Kamera roll, action!”
Mendengar kalimat barusan diucapkan, aku hirup nafas dalam. Lalu menghembuskan lambat-lambat dan mulai mengucapkan apa saja yang telah dituliskan di dalam kertas HVS sebagai patokan penceritaan kisah ini.
“Sangga Angkasa adalah nama pemberian dari kedua orang tuaku, sepertinya. Aku lahir di Jakarta dengan tahun kelahiran 1998. Sepengetahuanku, oleh kedua orang tua, aku adalah satu-satunya anak di keluarga. Ketika SMA, aku bersekolah di SMA Bumantara. Sekolah yang begitu berjasa mempertemukan aku dengan banyak ciptaan Tuhan. Terutama kamu …” Aku terbata untuk mengucapkan namanya.
“Namanya ialah Pijar Auri. Perempuan yang begitu berbeda. Perempuan yang kalau tersenyum, begitu manis sekali …”
Menyebutkan namanya kembali, membawaku pada kenangan-kenangan usang. Juga pada kejadian yang memilukan.
Komentar
Posting Komentar